- Konsep Toleransi Beragama dalam Islam
Secara etimologi kata toleransi sering diartikan oleh sebagian kalangan dengan makna tasamuh, namun pada pemaknaan secara terminologi kata toleransi tidak mampu mencakup kandungan makna dari kata tasamuh secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan pemakaian istilah toleransi merupakan istilah modern yang lahir dibarat dibawah kondisi social, politik dan budaya yang khas (Thoha, 2005; 212).
Jika kita merujuk kepada kamus bahasa arab, Kata “tasamuh” berarti sikap ramah atau murah hati (Badawi, 1996; 1120). Di dalam Fath al-Bari (al-Asqalani, Juz 13, 1379 H.; 20), kata al-samhah diartikan dengan kata al-sahlah (mudah) dalam memaknai sebuah riwayat yang berbunyi,
احب الدين الي الله الحنفية السمحة
Secara garis besar kata “tasamuh” berarti sikap ramah dengan cara memudahkan, memberi kemurahan dan keleluasaan. Namun bukan berarti menerima dan mengakui kebenaran ajaran mereka yang berseberangan dengan keyakinan dan ajaran yang disampaikan dalam Al-Qur‟an dan Sunnah (Ibrahim, 2012; 70-71).
Dalam kamus-kamus inggris memaknai kata “Tolerance” dengan “To endure without protest” (menahan perasaan tanpa protes), atau menahan perasaan sepihak terhadap orang-orang yang berbeda dengan mereka. Maka dalam bahasa Arab kata “tasamuh” mengandung makna sikap pemurah dan penderma dari kedua belah pihak atas dasar saling interaksi (Toha, 2005; 212).
Capaian toleransi dalam Islam atau tasamuh adalah mengakui keberadaan, menghargai, memberikan kesempatan dan saling tolong-menolong dalam hal tertentu. Capaian ini tidak sampai pada tataran mengakui kebenaran dan ikut merayakan perbedaan. Berbeda dengan yang disampaikan Michael Walzer bahwa capaian sikap toleransi mencapai pada sikap mendukung, merawat, bahkan sampai pada ikut merayakan perbedaan yang terjadi (Simarmata, 2017;10).
Dalam negara yang masyarakatnya mayoritas muslim dan di dalamnya diterapkan syariat Islam, masyarakat atau warga negaranya dalam konsep pandangan Islam dibagi menjadi dua golongan, yaitu Muslim dan non-Muslim. Warga Negara non-Muslim disebut sebagai Ahl al Dzimmah, yang berarti orang yang berada dalam perlindungan (al-Qardhawi, 1992; 7).
Islam menempatkan semua orang yang tinggal di Negara Islam sebagai warga Negara yang berhak memperoleh perlakuan yang sama baik Muslim maupun non-Muslim (Al-Maududi, 1998; 10). Sehingga negara berkewajiban menjaga dan melindungi jiwa, keyakinan, kebebasan beribadah, kehormatan, kehidupan, dan harta benda non-Muslim yang menjadi Ahl al-Dzimmah, sejauh mereka tidak melanggar pejanjian yang telah disepakati dengan kaum Muslimin (Thoha, t.t: 255).
Dalam pandangan Islam, ahl al-dhimmah dibagi menjadi dua golongan. Pertama adalah golongan Ahl al-Kitab, kemudian golongan yang kedua adalah komunitas dari agama atau keyakinan lainnya (al-Jauziyah, 1424/2003; 11-13). Mayoritas ulama berpendapat bahwa istilah Ahl al-Kitab ditujukan pada golongan non muslim yang memiliki pedoman kitab yang datang dari Allah, yaitu Yahudi dan Nasrani. Selain dua komunitas tersebut, kaum Majusi misalnya, tidak termasuk Ahl al-Kitab (al Syahrastani, 1404 H: 1/207). Walaupun terdapat penggolongan dalam non muslim menjadi ahli al-kitab dan non ahli al-kitab, Rasulullah SAW tetap memerintahkan agar ummat Islam memperlakukan non ahl al-Kitab sebagaimana memperlakukan Ahli al-Kitab. Dalam Islam, mereka yang mengadakan perjanjian untuk menjadi tanggungan kaum muslimin diberikan jaminan perlindungan dan keamanan dari segala macam ancaman (Pickthall, t.t; 36-38). Rasulullah SAW bersabda: Aku wasiatkan kepada kamu sekalian agar menjaga ahl al-dzimmah karena mereka adalah dzimmah (tanggungan) Nabimu (Sulaiman, 1419/1999; 67).
- Dasar Toleransi dalam Islam
Dasar-dasar teoritis yang mendasari sikap Islam bertoleransi sangat jelas ditulis dalam sejarah dan peradaban ummat islam. Menurut Qardhawi, tradisi toleransi Islam terhadap orang-orang non-Muslim merupakan sebuah realitas yang dapat ditelusuri melalui Nash wahyu (al-Qur‟an dan Hadist) dan sejarah peradaban yang diwariskan para khulafa’ rasyidin, bani umawiyah, bani Abbasiyah, daulah Utsmaniyyin, dan kerajaan-kerajaan Islam lainnya (al-Qardhawi, tt ; 65.) Sehingga anggapan bahwa ajaran Islam serat akan kekerasan dan intoleran adalah anggapan yang perlu diluruskan. Diantara batasan-batasan ummat muslim bertoleransi dijelaskan dalam Al-qur‟an surat al-Baqoroh ayat 256,
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut (Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.) dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui (QS al Baqoroh, 256).
dan surat Yunus ayat 99
وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ
Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ? (QS. Yunus, 99)
Islam tidak mengajarkan ummatnya memaksa manusia untuk mengikuti agama Islam. Cara beradab dalam berdakwah juga di jelaskan dalam Al-Qur‟an surat an-Nahl ayat 125,
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah (Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil). dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS an Nahl, 125).
Bahkan dalam Q.S. Al-Mumtahanah ayat 8, kaum muslimin diharuskan berbuat baik dan adil kepada seluruh manusia walau kafir sekalipun dengan syarat ia tidak memerangi Islam (al-Qardhawi, 1992; 4).
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil (QS al Mumtahanah, 8).
Toleransi tidak bisa diartikan memberikan kemudahan atau kebebasan secara umum dan menyeluruh. Hal itu akan menodai tujuan dari dakwah yang menjadi bagian dari tuntutan agama. Kesalahan yang dilakukan seseorang berhak untuk dibenarkan dengan menegur, bukan dibiarkan sebagai perwujudan bentuk toleran. Sehingga dalam bersosial, nilai kebenaran adalah utama, baru kemudian nilai kerukunan. Artinya dakwah adalah nomer satu, dalam berdakwah berlakulah yang bijaksana agar tidak memicu pertikaian. Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah (Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil), dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik (QS an Nahl, 125).
Dalam sejarah Rasululloh telah mencontohkan bagaimana seorang muslim bersikap terhadap sesama manusia baik itu muslim maupun non-muslim, diantaranya adalah sebuah perjanjian dikota Madinah antara kaum Muslim dengan non-Muslim yang dikenal dengan sebutan “Mithaq al-Madinah”. Mithaq al Madinah atau Piagam Madinah merupakan sebuah perjanjian tertulis yang diprakarsai oleh Nabi Muhammad SAW pada tahun 622 M. (Hisyam, 1955: 501).
Pada zaman Khulafa al-Rasyidin (Abu Bakr R.A, Umar Bin Khattab R.A, Utsman Bin Affan R.A, Ali Bin Abi Thalib R.A), wilayah kedaulatan Islam semakin luas, masyarakatpun semakin bertambah jumlahnya, beragam dan pluralistik. Sebab keberagaman kelompok masyarakat ini tidak hanya terdiri dari Islam, Nasrani, Yahudi, maupun Majusi saja, namun sudah mencakup umat Hindu, Budha, dan kaum Sabaean. Dokumen sejarah tentang toleransi pada zaman Khulafa al-Rashidin yang sangat menonjol adalah pada masa Umar saat membuat perjanjian kepada penduduk aelia (al-Quds, saat ini Palestina) seperti yang pernah dilakukan Rasulullah terhadap penduduk Madinah dulu, yang disusul dengan dibukanya kota ini oleh pasukan Islam. Umar bin Khattab berhasil menaklukan kota aelia tanpa ada kekerasan dan memberi jaminan perlindungan orang-orang Kristen dari orang-orang Yahudi. Perjanjian terhadap bangsa Aelia ini lebih dikenal dengan sebutan “Piagam Aelia” (Ibrahim, 1879; 609)
- Elemen Pendukung dan Penjaga Toleransi
Di dalam kerukunan umat beragama dibutuhkan banyak elemen yang berperan untuk mendukung dan menjaga terlaksananya toleransi. Diantara elemen-elemen tersebut adalah; Tokoh agama dan nilai-nilai keagamaan, Institusi Keagamaan dan Institusi Pendidikan, Pemerintah, Nilai-nilai lokal, Aktifis kemanusiaan (A. Khalikin, 2016,134)
1. Tokoh agama dan nilai keagamaan
Peran mereka adalah dengan berdakwah dan menyampaikan nilai-nilai toleransi antar agama kepada masing-masing umatnya. Mengemas materi agama yang berbeda dengan keyakinan agama lain dengan kemasan dan penyampaian yang bijaksana.
Pemuka agama sebagai figur tidak cukup sekedar menyampaikan materi, namun harus memberikan contoh yang baik dalam perilaku kesehariannya. Sehingga ucapan dan perilaku yang sesuai akan dijadikan panutan masyarakat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah (QS Al Ahzab; 21).
2. Institusi Keagamaan dan Institusi Pendidikan
Institusi atau lembaga keagamaan adalah sarana dalam berdakwah untuk menyampaikan materi ilmu pengetahuan dan menambah wawasan keagamaan. Demikian juga bisa dijadikan media tokoh agama secara lebih massif dan tersruktur di dalam menjaga kerukunan. Diantaranya dengan cara secara kontinyu mempertemukan berbagai tokoh dan umat beragama yang berbeda.
Selain institusi keagamaan, lembaga pendidikan juga memberi peran yang penting. Pertemuan yang sering terjadi di dalam satu lembaga pendidikan bisa membina pertemanan dengan baik.
3. Pemerintahan
Peran pemerintah dalam membangun toleransi masyarakatnya adalah diantaranya dengan membuat kebijakan yang terbuka, adil, tidak menimbulkan diskriminasi. Misalnya mewajibkan semua siswi untuk berjilbab adalah kebijakan yang memberatkan siswi non muslim, sehingga bisa memicu kerenggangan toleransi dan kerukunan.
عن أبي سعيد الخدري ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أحب الناس إلى الله يوم القيامة وأقربهم مني مجلسا ، إمام عادل ، وأبغض الناس إلى الله وأبعدهم منه مجلسا إمام جائر . سنن الترمذي – (ج 3 / ص 617)
Manusia yang paling dicintai oleh Allah pada hari qiyamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah seorang pemimpin yang dhalim (At Tirmidzi 3/617)
Dalam kitab Al Futuhat al ‘Aliyyah imam Ahmad bin Hanbal menyampaikan, sesungguhnya Allah akan menolong negara yang adil meskipun negara tersebut kafir, dan Allah tidak akan menolong negara yang dhalim meskipun negara Islam. Kemudian imam Ahmad membacakan Al Qur’an surat Hud ayat 117. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرٰى بِظُلْمٍ وَّاَهْلُهَا مُصْلِحُوْنَ
dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan (Zain, 2010/1431: 249).
4. Nilai lokal
Nilai-nilai budaya lokal atau yang biasa disebut sebagai kearifan lokal menjadi muara toleransi. Nilai-nilai budaya lokal adalah kesepakatan dan komitmen masyarakat secara bersama yang tidak tertulis. Sehingga meskipun bukan sebagai aturan yang tertulis, masyarakat akan patuh dan menjaga dengan baik. Misalnya ungkapan Sing Penting Brayan, atau tradisi kesopanan akan bisa melahirkan sikap toleransi terhadap sesama.
Sesuatu yang dianggap baik oleh orang-orang Muslim, maka sesuatu tersebut menurut Allah juga baik, dan Sesuatu yang dianggap buruk oleh orang-orang Muslim, maka sesuatu tersebut menurut Allah juga buruk (Al Hakim, tt: 10/257).
5. Aktifis kemanusiaan
Aktifis yang peduli terhadap kemanusiaan yang tanpa pamrih, hanya demi kemanusiaan semata besar perannya dalam menunjang pilar toleransi. Hal ini seperti yang dilakukan Ibu Meri, tokoh Budha, yang ditemukan dalam penelitian di Bogor oleh Daulay yang ditulis dalam Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik (A. Khalikin, 2016, 65).