Urgensi Fikih Komparatif

Dr. Abdulloh Arif Mukhlas, Lc. M.H.I

Islam datang membawa rahmat bagi alam semesta. Hal ini tidak mustahil karena kedatangan Islam membawa aturan kehidupan yang diatur oleh Tuhan yang mengatur kehidupan. Islam membawakan ajaran yang dapat digolongkan menjadi dua; akidah dan fikih

Akidah adalah ajaran agama Islam yang menjelaskan tentang hukum yariah yang berhubungan dengan keyakinan. Fikih adalah pengetahuan tentang hukum syariah yang berhubungan dengan perbuatan yang diambil melalui jalan ijtihad. Ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk menganalisa dan mensikapi kejadian yang terjadi dalam kehidupan untuk dicari hukumnya dengan dasar al Qur’an, Hadits, ijma’ dan qiyas.

Aturan dan hukum Islam yang berhubungan dengan akidah atau tauhid atau keyakinan tidak dihasilkan lewat berijtihad, namun sesuai dengan ajaran yang disampaikan oleh Nabi dan Rasul. Apa yang disampaikan oleh Rasul adalah ajaran yang mutlak benarnya. Karena ilmu akidah pada umumnya adalah ilmu yang membahas tentang keyakinan yang berhubungan dengan dunia ghaib. Hal yang tidak bisa diindra, tidak bisa dibuktikan, namun harus diyakini kebenarannya. Misalnya tentang hari kiamat, siksa kubur, surga dan neraka, semua itu harus diyakini benarnya meskipun tidak bisa kita buktikan. Karena semua itu terjadi setelah adanya kematian.

Sedangkan fikih yang notabene berhubungan dengan perbuatan, sementara perbuatan manusia sering terjadi perbedaan karena tuntutan keadaan, waktu maupun tempat, bahkan juga latar belakang seseorang, maka dalam hal ini dibutuhkan untuk berijtihad. Dalam berijtihad seringkali menemukan hasil konklusi yang berbeda karena dorongan faktor yang berbeda pula. Sehingga dalam masalah fikih banyak sekali hukum yang berbeda meskipun dalam masalah yang sama. Hal ini memicu munculnya klaim kebenaran dirinya dan kesalahan orang lain. Bisa karena unsur fanatisme yang berlebihan, bisa unsur politik, bisa juga unsur kepentingan pribadi atau bisa juga karena keterbatasan pengetahuan. Misalnya perbedaan dalam melaksanakan doa qunut dalam shalat subuh. Sebagian pendapat mengatakan sunnah dan sebagian yang lain mengatakan tidak. Dari paparan tersebut, tulisan ini akan menjelaskan tentang urgensi fikih komparatif dengan harapan bisa memberikan pencerahan wacana dalam menghadapi perbedaan pendapat.

Urgensi KAJIAN MASAIL Fiqhiyyah

Kehidupan yang semakin global, budaya yang sudah terkontaminasi, kesungguhan dalam menjalankan agama semakin berkurang, pembenaran atas nama agama untuk kepentingan dll. Saat demikian jika pemahaman hukum yang dimiliki lebih menyeluruh maka kepribadiyan yang moderat akan terbentuk dan sikap santun akan menjadi budaya.

Diriwayatkan dalam sebuah hadits nabi;

اختلاف امتى رحمة

Perbedaan umatku adalah rahmat.[1]

Didalam perbedaan pendapat terdapat rahmad yang bisa didapatkan. Tidak dapat dipungkiri, perselisihan adalah sebuah kepastian. Namun tidak semua perselisihan itu akan membawa rahmat. Kerusakan umat terdahulu justru disebabkan karena adanya perselisihan.[2] Dengan demikian perlu dibedakan dan diperjelas, dalam hal apa perselisihan yang terdapat nilai rahmad dan perselisihan yang akan membawa kerusakan dan kehancuran. Sehingga jika perselisihan tersebut adalah perselisihan yang mendatangkan rahmad, maka sikap toleransi yang harus dikedepankan. Namun jika perselisihan yang terjadi adalah perselisihan yang akan mendatangkan kehancuran, maka perlu dibenahi dengan pendekatan dakwah yang benar, bukan dengan kekerasan, karena kekerasan sendiri adalah bagian dari kerusakan yang harus dihindara.[3]

Terdapat kesimpulan ulama’ bahwa perselisihan dibagi menjadi tiga, dua diantaranya membawa kerusakan dan tidak boleh terjadi, ialah dalam urusan pokok-pokok syariat/hukum tauhid dan masalah kebijakan dalam berperang, dan yang satu adalah perselisihan yang membawa rahmat, ialah perselisihan dalam urusan hukum  syariat atau hukum fikih.[4]


 

[1] تفسير اللباب لابن عادل – (ج 4 / ص 250)

 

وما زالت الصحابة مختلفين في أحكام الحوادث ، وهم – مع ذلك – متآلفون وقال صلى الله عليه وسلم : « اخْتِلاَفُ أمَّتِي رَحْمَةٌ »

 

[2] البحر المديد – (ج 1 / ص 318)

 

{ ولا تكونوا } كاليهود والنصارى الذين { تفرقوا } في التوحيد والتنزيه ، { واختلفوا } في أحوال الآخرة ، قال عليه الصلاة والسلام : « افْتَرقَتِ اليَهُودُ على إِحْدَى وسَبْعِين فرقَةً ، وافْتَرقَت النَّصارَى عَلَى ثَنْتَيْنِ وسَبْعِين فِرقَةٌ ، وستفترق أمتي على ثلاثٍ وسَبْعِينَ فِرْقةً ، كلُّها في النَّارِ إلا وَاحِدةً . قيل : ومَنْ تلك الواحدة؟ قال : ما أَنَا وأَصْحابِي عَلَيْه »

 

[3] الوسيط لسيد طنطاوي – (ج 1 / ص 2996)

 

أنه سبحانه لم يشرع فى هذا الدين الذى تدينون به ما فيه مشقة بكم ، أو ضيق عليكم : وإنما جعل أمر هذا الدين ، مبنى على اليسر والتخفيف ورفع الحرج ، ومن قواعده التى تدل على ذلك : أن الضرر يزال

 

[4] روح المعاني – (ج 4 / ص 24)

 

وأن الإختلاف على ثلاثة أقسام أحدها في الأصول ولا شك أنه ضلال وسبب كل فساد وهو المشار إليه في القرآن والثاني في الآراء والحروب ويشير إليه قوله صلى الله تعالى عليه وسلم لمعاذ وأبي موسى لما بعثهما إلى اليمين : تطاوعا ولا تختلفا ولا شك أيضا أنه حرام لما فيه من تضييع المصالح الدينية والدنيوية والثالث في الفروع كالإختلاف في الحلال والحرام ونحوهما والذي نقطع به أن الإتفاق خير منه أيضا لكن هل هو ضلال كالقسمين الأولين أم لا فيه خلاف فكلام إبن حزم ومن سلك مسلكه ممن يمنع التقليد يقتضي الأول وأما نحن فإنا نجوز التقليد للجاهل وألاخذ عند الحاجة بالرخصة من أقوال بعض العماء من غير تتبع الرخص وهو يقتضي الثاني ومن هذا الوجه قد يصح أن يقال : الإختلاف رحمة